Perss Indonesia ll KUALASIMPANG – Stop Pembabatan tegakkan, Pembukaan Jalan dan Alih Pungsi Hutan menjadi perkebunan kelapa sawit secara liar dan ilegal yang telah mencapai 5 ribu hektar luasnya di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) Aceh dan Sumatera Utara.
Data dan analisa itu di gelontorkan Lembaga Advokasi Hutan Lestari (LembAHtari) saat diskusi masalah tapal batas Aceh – Sumatera Utara (Sumut). Bersama Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Tamiang beserta jajaran Porkopimda plus dan Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL). Rabu, 7 Februari di aula Sekretaris Daerah (Sekda) Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Tamiang.
Diskusi empat jam yang maha penting itu dimanfaatkan berbagai elemen dan lembaga yang konsisten terhadap lingkungan sustainable seperti LembAHtari, FKL, HAKA, Koalisi Penyelamatan Hutan dan Lahan Basah (KPHLB) dan Komunitas Jurnalis Lingkungan (KJL) Aceh. Untuk mempertahankan hutan tersisa agar tidak terdegradasi oleh keserakahan manusia.
Dari data identifikasi, analisa dan telaah LembAHtari di lapangan; di lokasi TNGL Sikundur Tenggulun, mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 28/2020, 29 Mei 2020 Tentang Pengesahan Tapal Batas Aceh Tamiang, Provinsi Aceh dengan Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera, ditemukan ada wilayah kawasan TNGL [Sebahagian Sikundur] di Tenggulun mencapai antara 6000 -7000 hektar dalam Lampiran Permendagri tersebut.
Di mana wilayah Administrasi sudah masuk ke wilayah Administrasi Aceh, Khususnya Aceh Tamiang, hal tersebut sebenarnya sudah diperjuangkan sejak tahun 2008 dan Masa Pemerintahan Bupati Aceh Tamiang, almarhum Drs. Abdul Latif lalu tahun 2012 dibuat SK tim tentang masalah Tapal Batas dan saat itu LembAHtari ikut dalam proses di bagian itu.
Ada kegusaran yang memunculkan beragam pertanyaan [keuntungan bagi kita apa?] dengan Permendagri tersebut.
Direktur Eksekutif LembAHtari. Sayed Zainal, M. SH dalam diskusi itu mencoba membeberkan bahwa; Aceh Tamiang telah mendapatkan wilayah tanah seluas dan atau juga mencapai 7000 hektar yang tertuang dalam lembaran Permendagri terutama pada bagian titik Kordinat mulai antara 42 sampai titik kordinat 75.
Lokasi berbatas langsung dengan Sibetung Bukit Mas Besitang sampai Batas Sungai Sikundur Kecil dan Besar di belakang kawasan Pagar Gajah, juga berbatas dengan Lokasi kawasan Lindung Gregas, arah Air Panas yang berada dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) Aceh Tamiang.
Pada Pertemuan, 7 Februari 2024 lalu, LembAHtari menyampaikan tiga hal di antaranya; 1. Stop dan Hentikan Pembukaan Jalan, Pembabatan Hutan, Alih Pungsi Hutan di dalam kawasan TNGL Sikundur Tenggulun. “Apa yang mereka [membabat, alih pungsi dan pembukaan] lakukan adalah, telah merubah bentangan hutan menjadi Perkebunan Sawit Secara liar dan atau ilegal mencapai 5 ribu hektar di beberapa titik dalam lokasi TNGL bagian Sikundur Tenggulun,” Beber Sayed.
2. Inventarisasi Ulang, Siapa - siapa saja Pemilik Lahan, penguasa lahan secara Ilegal, bahkan pembukaan Kebun sawit dengan menggunakan Alat berat; dan
3. Atur ulang Peruntukan sesuai Fungsi yang ada, agar kondisi bentangan hutan yang masih tersisa tetap terjaga.
Apalagi, LembAHtari juga pernah menyampaikan hal itu di tanggal 6 April 2021 lalu, Kepada tim Forkopimda Aceh Tamiang, yang saat itu turun meninjau ke lapangan di lokasi Pagar Gajah, di hadapan para Pemangku Kebijakan Aceh Tamiang, termasuk di hadapan ketua DPRK Aceh Tamiang, Sayed menyampaikan permasalahannya.
“Namun ya itu tadi. Mereka tidak melakukan tindakan terhadap tiga hal yang disampaikan LembAHtari. Bergeming dan hening-hening saja, seakan wilayah dimaksud sedang baik-baik saja,” Sebutnya.
Aleh-aleh, LembAHtari menemukan lagi fakta di lapangan. Pada ground cek kordinat, photo drone sejak dan bahkan sebelum Permendagri No 28/ 2020 itu ada. Sadis, kawasan TNGL telah dirambah. Puncak Perambahan sejak akhir 2019 hingga saat ini. Dan ternyata lokasi itu masuk ke wilayah Aceh Tamiang di kawasan TNGL Sikundur.
Lalu siapa yang peduli?. Berdasarkan Permendagri telah terjadi perambahan, dikuasai secara ilegal. Bahkan Pembalakan Liar terus berlangsung. Apalagi itu, kawasan lindung hutan KEL, arah Gregas Air Panas dan kaki - kaki bukit Gua Bukit Kapal tak luput dari pembabatan.
Episode balakan terus saja ditayangkan oleh manusia-manusia serakah, demi memburu cuan berselemak celah hukum dan kekotoran.
“Kami [LembAHtari] minta kepada BBTNGL, BPKH Aceh, Pemerintah Aceh, Pemkab Aceh Tamiang, bersama APH dan LSM HAKA, FKL, KOALISI PENYELAMATAN HUTAN DAN LAHAN BASAH, Komunitas Jurnalis Lingkungan (KJL) Aceh, untuk mendorong dan atau mendesak, segera menghentikan pembabatan TNGL Sikundur Tenggulun serta melakukan monitoring ke Lokasi dengan memperhatikan hak-hak rakyat lokal yang berkaitan dengan Konservasi,” Ajaknya.
Selain itu sosialisasikan masyarakat untuk Pemanfaatan Hutan Non Kayu dan Pengayaan. Terpenting itu, Peran seluruh elemen masyarakat [Kearifan lokal] untuk mengurangi Laju Kerusakan/ Perusakan kawasan Hutan di Aceh Tamiang yang semakin Kritis.
Pada kondisi persoalan ini, kerusakan dan atau perusakan kawasan hutan adalah sebagai penyumbang terbesar terjadinya dampak Bencana Banjir di Aceh Tamiang sebagai Kabupaten Rawan Bencana Banjir.
Uniknya lagi, ada Indikasi bahwa; di sekitar beberapa titik lokasi itu di masukan ke dalam Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) oleh Koperasi pelaksana program PSR. “Ini sangat keterlaluan, untuk hal ini. LembAHtari dan lembaga lain siap memberikan pesakitan bagi koperasi nakal yang memasukan kawasan hutan KEL ke dalam program PSR,”.
Selanjutnya, Sayed menekankan; kepada para wakil rakyat di DPRK, DPRA dan DPR RI jangan hanya diam, berucap dan bersuaralah di Parlemen terkait perusakan kawasan hutan dan Tamiang intensitas tinggi resiko bencana alam banjir. “Bapak yang terhormat, kampanyekan itu. Anda-anda [bapak wakil rakyat] yang terhormat jangan duduk manis saja, apakah anda tahu, masalah respek atau respon dengan potensi kebencanaan kita di Aceh Tamiang akibat dari Perusakan Hutan, Rusaknya DAS Krueng Tamiang, pikirkan itu baik-baik, semoga anda tidak tidur lelap dan bermimpi panjang,” pungkasnya.