Kampus Atau Zona Bebas Kekerasan Seksual?
Oleh : Andi Khaerul Amri
Jakarta - Saya menemukan berita di media sosial tentang kekerasan seksual di salah satu perguruan tinggi di Makassar. Sudah kesekian kalinya kita ditamparkan berita hal semacam ini. Tapi saya salut terhadap teman mahasiswi kita yang berani melaporkan atas tindakan kasus pelecehan ini, yaitu oknum dosen pembimbing yang melecehkan mahasiswinya. Oleh karna itu saya berinisiatif menulis tentang pelecehan seksual di kalangan Instansi Perguruan Tinggi. Semoga dengan tulisan ini dapat memberikan edukasi dan keberanian terhadap teman-teman mahasiswa, khususnya perempuan yang takut untuk bersuara menjadi berani bersuara, karna suara tak bisa dipenjarakan.22/11/24
Kampus seharusnya menjadi tempat yang aman untuk belajar, berkembang, dan meraih cita-cita. Namun, kenyataannya banyak mahasiswa, terutama perempuan, yang merasa terancam oleh kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan ini. Dari pelecehan verbal hingga kekerasan fisik, masalah ini terus menghantui dan seringkali dibiarkan begitu saja, seolah-olah itu adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan kampus.
Di banyak universitas, meski kebijakan anti-kekerasan seksual ada, implementasinya seringkali lemah. Proses hukum yang lambat, minimnya edukasi mengenai hak-hak korban, dan budaya impunitas yang melindungi pelaku menjadi alasan utama mengapa kampus-kampus masih menjadi zona yang tidak aman bagi banyak mahasiswa. Bahkan, di beberapa tempat, pelaku kekerasan seksual seringkali mendapatkan perlakuan istimewa, sementara korban justru dipertanyakan kredibilitasnya dan seringkali dipersalahkan.
Di sisi lain, banyak mahasiswa yang merasa tertekan untuk tidak melaporkan kekerasan seksual yang mereka alami, karena takut dengan stigma atau takut akan kehilangan kesempatan akademik dan sosial. Ketakutan ini memperparah situasi, menjadikan kekerasan seksual sebagai masalah yang tersembunyi, meskipun dampaknya sangat besar terhadap kesehatan mental dan fisik korban.
Namun, apakah ini yang seharusnya kita terima sebagai realitas di kampus-kampus kita? Kampus seharusnya menjadi tempat yang melindungi dan menghargai hak setiap individu, bukan tempat di mana kekerasan seksual dapat berkembang tanpa hambatan. Ini saatnya untuk mempertanyakan status quo dan memaksa kampus untuk bertindak. Tidak ada ruang untuk kompromi ketika datang pada masalah keselamatan dan martabat mahasiswa
Baru-baru ini, sebuah kasus kekerasan seksual terjadi di mahasiswi FIB Universitas Hasanuddin (Unhas) kembali memunculkan pertanyaan besar tentang bagaimana institusi pendidikan menangani isu sensitif ini. Seorang mahasiswi melaporkan telah menjadi korban pelecehan seksual oleh seorang dosen pembimbing skripsinya. Namun, meski laporan tersebut mengungkapkan pelanggaran serius, dosen yang terlibat hanya diberi sanksi administratif ringan penundaan mengajar selama dua semester. Sebuah keputusan yang jauh dari rasa keadilan bagi korban.
Kasus ini semakin diperburuk dengan munculnya cerita seorang mahasiswa lain yang berani mengkritik ketidakadilan ini. Mahasiswa tersebut, yang merasa tindakan pelecehan seksual yang dilakukan oleh dosen harus ditanggapi dengan serius, menyuarakan protesnya. Bukannya mendapatkan dukungan, ia justru dihadapkan pada sanksi yang lebih berat. Ia dikeluarkan dari kampus sebuah tindakan yang mencerminkan bagaimana suara kritis terhadap kekerasan seksual sering kali ditanggapi dengan represif
Kampus seharusnya menjadi tempat di mana mahasiswa merasa aman untuk belajar dan berkembang. Namun, kejadian-kejadian seperti ini menunjukkan bahwa banyak kampus, masih belum bisa menciptakan lingkungan yang bebas dari kekerasan seksual. Ketika seorang dosen yang seharusnya menjadi pembimbing dan contoh moral malah menjadi pelaku pelecehan seksual, itu menunjukkan bahwa sistem perlindungan di kampus tersebut sangat rapuh. Sanksi ringan yang diberikan kepada dosen yang terlibat tidak hanya mengecewakan korban, tetapi juga memberi pesan yang salah kepada seluruh civitas akademika : bahwa kekerasan seksual di kampus bisa dibiarkan begitu saja.
Tindakan mengeluarkan mahasiswa yang berani menyuarakan protes terhadap pelecehan ini hanya menambah ketegangan. Kampus yang seharusnya mendukung kebebasan berekspresi malah memilih untuk menindak mahasiswa yang memperjuangkan keadilan. Ini menunjukkan adanya budaya ketidakpedulian terhadap korban, serta pengutamaan status quo yang melindungi pelaku.
Sebagai penutup saya terinspirasi dari puisi Wiji Thukul yang berbunyi : “Sungguh suara itu tak bisa di redam, mulut bisa dibungkam, namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang. Suara-suara itu tidak bisa dipenjarakan karena disana bersemayam kemerdekaan”