
Bone, Sulsel – Masyarakat Desa Leppangeng, Kecamatan Ajangale, Kabupaten Bone, dibuat resah oleh dugaan ketidakjelasan penggunaan Dana Desa selama periode 2018 hingga 2023. Anggaran miliaran rupiah telah dikucurkan untuk berbagai proyek infrastruktur, namun realisasi di lapangan justru memunculkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
Berdasarkan data yang dihimpun, berikut rincian anggaran Dana Desa yang telah dialokasikan:
2018: Pengerasan jalan desa – Rp 743.927.000
2019: Drainase dan prasarana jalan – Rp 492.044.000
2019: Pengerasan jalan desa – Rp 348.660.000
2020: Pembangunan gorong-gorong – Rp 409.410.000
2020: Pengerasan jalan desa – Rp 364.500.000
2021: Pengerasan jalan desa – Rp 194.230.000
2021: Pengerasan jalan desa – Rp 85.700.000
2021: Drainase dan prasarana jalan – Rp 431.011.000
2022: Drainase dan prasarana jalan – Rp 51.625.000
2023: Pengerasan jalan usaha tani – Rp 368.930.000
Total anggaran yang telah dikucurkan untuk proyek-proyek tersebut mencapai lebih dari Rp 3 miliar. Namun, apakah seluruh proyek ini benar-benar terealisasi sesuai anggaran dan spesifikasi?
Sejumlah warga mulai mempertanyakan transparansi penggunaan dana desa. Beberapa proyek pengerasan jalan dan drainase yang disebutkan dalam laporan anggaran diduga tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Bahkan, ada yang menyebut pengerjaan proyek terkesan asal-asalan, cepat rusak, atau bahkan tidak terlihat manfaatnya.
"Kami bingung, anggaran miliaran rupiah, tapi jalannya tetap saja cepat rusak. Kalau memang dikerjakan dengan baik, kenapa hasilnya begini?" ujar seorang warga yang meminta namanya dirahasiakan.
Ketua LSM Gerakan Anti Korupsi Bone, Hendrawan, turut menyoroti dugaan penyimpangan dalam pengelolaan dana desa ini.
"Kami melihat ada potensi penyalahgunaan anggaran dalam proyek-proyek ini. Dengan total anggaran sebesar itu, seharusnya pembangunan terasa manfaatnya oleh masyarakat, bukan hanya tertera dalam laporan. Kami meminta aparat penegak hukum, termasuk KPK dan Kejaksaan, segera turun tangan untuk mengaudit dan menginvestigasi," tegas Hendrawan.
Kepala Desa Leppangeng, Hj. Suhart, S.Sos, membantah adanya penyimpangan dan menyatakan bahwa penggunaan anggaran telah sesuai dengan perencanaan dalam APBDes.
“Kami selalu menjalankan pembangunan sesuai prosedur dan kebutuhan masyarakat. Semua bisa diklarifikasi,” ujarnya singkat.
Namun, pernyataan ini belum cukup meredam kegelisahan warga. Jika penggunaan anggaran memang transparan, mengapa masih ada dugaan ketidaksesuaian di lapangan?
Aktivis anti korupsi mendesak dilakukan audit independen untuk memastikan tidak ada manipulasi dalam realisasi proyek. Jika ditemukan kejanggalan atau unsur pidana, maka pihak yang terlibat harus bertanggung jawab sesuai hukum yang berlaku.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, serta Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pengelolaan dana desa yang tidak transparan dan merugikan negara dapat dikenai sanksi pidana.
Jika terbukti ada penyelewengan anggaran, maka pelaku dapat dijerat dengan:
Pasal 2 Ayat (1) UU Tipikor: Setiap orang yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri yang merugikan keuangan negara, dapat dipidana seumur hidup atau minimal 4 tahun penjara.
Pasal 3 UU Tipikor: Penyalahgunaan kewenangan dalam jabatan yang menyebabkan kerugian negara, diancam pidana maksimal 20 tahun.
Kasus ini tidak boleh dibiarkan menguap begitu saja. Laporan penggunaan dana desa harus dibuka secara transparan, dan jika ditemukan indikasi korupsi, para pelakunya harus diadili dan mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum.
Masyarakat kini menanti langkah konkret dari aparat penegak hukum. Apakah miliaran rupiah ini benar-benar digunakan untuk kepentingan desa, ataukah ada pihak yang selama ini bermain dalam kegelapan?
(Tim Investigasi)