
Kalbar,Perss.id,Jakarta– Mantan Menteri Perdagangan, Tom Lembong, resmi didakwa oleh Kejaksaan Agung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat atas tuduhan korupsi dalam penerbitan persetujuan impor gula kristal mentah (GKM) tanpa melalui rapat koordinasi. Kasus ini dinilai merugikan negara hingga Rp 578 miliar. Sidang perdana yang digelar hari ini memaparkan tujuh peran kunci Lembong dalam skema yang diduga melanggar prosedur hukum tersebut.
Tim jaksa penuntut mengungkapkan, Lembong secara sepihak menerbitkan rekomendasi impor GKM pada masa jabatannya (periode 2021-2023) tanpa melibatkan rapat koordinasi dengan kementerian terkait, seperti Kementerian Pertanian dan Kementerian Perindustrian. Menurut dokumen jaksa, langkah ini menyalahi Peraturan Menteri Perdagangan No. 15/2021 tentang Tata Cara Impor Gula yang mewajibkan koordinasi antarlembaga.
"Terdapat tujuh peran aktif terdakwa dalam memfasilitasi penerbitan izin impor ini, mulai dari mengabaikan rekomendasi teknis hingga menekan proses administrasi demi kepentingan pihak tertentu," tegas jaksa dalam pledoinya. Kerugian negara sebesar Rp 578 miliar dihitung dari selisih harga gula impor ilegal dengan harga pasar resmi, serta potensi kehilangan pendapatan petani lokal.
Di sisi lain, tim hukum Tom Lembong membantah keras tuduhan tersebut. Mereka mengklaim hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2024 justru menyatakan tidak ada indikasi kerugian negara dalam kasus ini. "Laporan BPK No. 012/LHP/XI/2024 menyimpulkan bahwa seluruh proses impor dilakukan sesuai kebutuhan riil industri dan tidak ada deviasi harga yang merugikan negara," ujar Kuasa Hukum Lembong, Ahmad Faisal, di luar pengadilan.
Faisal menegaskan, tuduhan jaksa didasarkan pada perhitungan yang tidak transparan dan mengabaikan konteks kebijakan saat itu, yakni menjaga stabilitas harga gula nasional. "Ini adalah upaya kriminalisasi kebijakan yang sah. Kami akan ajukan bukti kontra dan saksi ahli di sidang selanjutnya," tambahnya.
Polemik ini menyoroti perbedaan metodologi penghitungan kerugian antara BPK dan Kejaksaan. Pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Prof. Dr. Hadi Rahmat, menjelaskan, "Sengketa data seperti ini kerap terjadi di kasus korupsi. Hakim harus kritis membandingkan kedua laporan, termasuk memeriksa independensi audit BPK."
Sementara itu, Koalisi Masyarakat Anti Korupsi (KMAK) mendesak pengadilan untuk transparan mempublikasikan seluruh dokumen audit dan menghadirkan saksi ahli independen. "Kasus ini ujian bagi integritas penegakan hukum, terutama karena melibatkan mantan pejabat tinggi," kata Koordinator KMAK, Rina Anggraeni.
Sidang akan dilanjutkan pada 13 Maret 2025 dengan agenda pemeriksaan dokumen audit BPK dan keterangan saksi dari Kementerian Perdagangan era kepemimpinan Lembong. Masyarakat diminta tetap merujuk pada informasi resmi dari lembaga terkait untuk menghindari disinformasi.(Suardi 007 )